Pasar keuangan Indonesia mengakhiri perdagangan kemarin dengan kinerja yang beragam.
Menghijaunya bursa Wall Street, meredanya inflasi Amerika Serikat (AS), serta surplus neraca perdagangan Februari 2023 tidak cukup mampu membawa Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) IHSG ke zona hijau.
Sebaliknya, dua faktor tersebut membuat rupiah menguat tajam dan Surat Berharga Negara (SBN) laris diburu investor.
IHSG diperkirakan masih akan menjalani periode berat pada perdagangan hari ini. Selengkapnya mengenai sentimen pasar hari ini bisa dibaca di halaman 3 dan 4 artikel ini.
IHSG mengakhiri perdagangan kemarin di posisi 6.628,14, melemah 13,68 poin atau 0,21%. Posisi penutupan kemarin adalah yang terendah sejak 11 Januari 2023 atau dua bulan terakhir.
Pelemahan kemarin lebih kecil dibandingkan pada Selasa (14/3/2023) di mana IHSG jeblok 2,14%.
Sebanyak 320 saham turun, 232 saham menguat, dan 195 lainnya stagnan alias tidak berubah. Nilai transaksi tercatat Rp 12,67 triliun dengan melibatkan 17,35 miliar saham.
Di antara saham yang melemah tajam adalah PT Semen Indonesia (SMGR) yang longsor 6,08%, Indocement Tunggal Prakarsa (INTP) turun tajam 6,82% dan Indofood CBP Sukses Makmur merosot 3,37%.
IHSG sebenarnya dibuka di zona hijau dan mengakhiri perdagangan sesi I dengan menguat tipis 0,01%. Namun, IHSG berbalik arah dan ditutup di zona merah.
Pergerakan IHSG masih dibayang-bayangi krisis perbankan di AS. Kolapsnya Silicon Valley Bank (SVB) dan Signature Bank membuat pasar panik pada Selasa lalu dan menyeret IHSG ke penurunan yang sangat tajam.
Kepanikan tersebut sedikit mereda sehingga gerak IHSG kemarin lebih kalem dan tidak volatile seperti Selasa lalu.
Kendati demikian, kekhawatiran belum sepenuhnya menghilang terutama karena masalah yang menimpa pada Credit Suisse (baca halaman 2).
Sentimen negatif dari luar negeri sedikit teredam oleh kabar positif dari neraca perdagangan Indonesia dan inflasi AS yang melandai ke 6% (yoy) pada Februari 2023.
Neraca perdagangan Indonesia pada Februari 2023 di luar dugaan mencatatkan surplus US$ 5,48 miliar. Surplus tersebut tercatat lebih tinggi dari Januari yang hanya US$ 3,87 miliar.
Surplus Februari ini sekaligus memantapkan rekor surplus 34 bulan beruntun sejak Mei 2021.
Berbanding terbalik dengan IHSG, mayoritas bursa Asia-Pasifik ditutup menguat pada perdagangan Rabu (15/3/2023).
Indeks Nikkei 225 Jepang naik tipis 0,02%, Hang Seng Hong Kong melonjak 1,52%, Shanghai Composite China menguat 0,55%, Straits Times Singapura melesat 1,38% ASX 200 Australia terapresiasi 0,78% dan KOSPI Korea Selatan melompat 1,46%.
Dari pasar mata uang, rupiah sukses menguat terhadap dolar AS. Mata uang Garuda mengakhiri perdagangan di posisi Rp 15.360/US$ atau menguat 0,13%. Penguatan ini berbanding terbalik dengan pelemahan sebesar 0,13% pada Selasa lalu.
Inflasi AS yang melandai dan krisis SVB membuat bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) diperkirakan tidak akan agresif lagi menaikkan suku bunga. Selain itu, neraca perdagangan Indonesia yang kembali mencatat surplus memberikan sentimen positif.
Sementara itu, yield Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun turun 35 poin menjadi 6,76%. Posisi tersebut adalah yang terkuat sejak 21 Februari 2023.
Yield yang turun menandai obligasi tengah banyak dibeli sehingga harganya naik.
Dari Amerika Serikat, mayoritas bursa saham Wall Street kembali jeblok setelah sempat menghijau pada perdagangan Selasa lalu.
Pada perdagangan Rabu (15/3/3023), indeks Dow Jones jatuh 280,83 poin atau 0,87% ke 31.874,57. Sementara itu, indeks S&P 500 turun 0,7% atau 27,36 poin ke 3.891,93. Hanya indeks Nasdaq yang menguat tipis 5,9 poin atau 0,05% ke posisi 11.434,05.
Bursa Wall Street kembali jatuh karena imbas semakin meluasnya dampak krisis perbankan. Setelah SVB dan Signature Bank menggoyang pasar keuangan Amerika, kini giliran Credit Suisse yang membuat guncang pasar Eropa.
Meluasnya krisis perbankan semakin meningkatkan kekhawatiran pasar jika ada persoalan besar dalam sistem perbankan global.
Akibatnya, saham-saham bank pun kembali bertumbangan. Saham First Republic Bank anjlok 12,87% sementara PacWest Bancorp ambles 21,4%. Dari Italia, saham UniCredit juga jeblok 9,06%. Sementara itu, sumber masalah yakni Credit Suisse sahamnya jeblok 24,2%.
Saham Credit Suisse sudah turun selama delapan hari perdagangan dengan pelemahan menembus 39%.
Persoalan Credit Suisse bermula setelah mereka mengakui ada “kelemahan material” yakni kelemahan dalam kontrol internal mereka ketika bank terlambat merilis laporan keuangan.
Bank dengan operasional terbesar di Swiss tersebut menunda rilis laporan keuangan mereka yang seharusnya diserahkan kepada Komisi Sekuritas dan Bursa AS pekan lalu.
Keterlambatan terjadi karena mereka merevisi laporan arus kas perusahaan pada 2019 dan 2020.
Sebagai catatan, laporan keuangan 2022 menyebut bank yang berdiri sejak 1856 tersebut mencatat rugi bersih senilai US$ 7,8 miliar.
Kerugian salah satunya oleh penarikan dana besar-besaran hingga menembus 110 billion francs atau sekitar US$ 120 miliar (Rp 1.843,2 triliun).
Persoalan semakin runyam karena investor terbesar mereka, Saudi National Bank, menolak memberikan tambahan modal karena terbentur aturan kepemilikan saham maksimal 10%.
Kepemilikan mereka kini mencapai 9,9%. Saudi National Bank membeli saham Credit Suisse saat bank tersebut mengumpulkan dana hingga US$ 4,2 miliar pada 2022 sebagai bagian dari restrukturisasi dan perbaikan kinerja.
Bank beraset 530 miliar franc atau sekitar US$ 573 miliar (Rp 8.801 triliun) tersebut memang diketahui kerap ditimpa masalah.
“Faktor utama dari kejatuhan pasar saat ini adalah hilangnya kepercayaan. Ini adalah bentuk ketakutan karena pasar tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi (pada bank-bank),” Mark Stoeckle, CEo dari Adams Funds, dikutip dari CNBC International.
Besarnya dampak krisis sektor perbankan meredam sentimen positif dari pergerakan Indeks Harga Produsen (IPP) dan penjualan eceran AS.
AS pada Rabu malam waktu Indonesia mengumumkan jika IPP mereka terkontraksi 0,1% pada Februari 2023 dibandingkan bulan sebelumnya (mtm).
Indeks Indeks lebih rendah dibandingkan ekspektasi pasar yang memperkirakan kenaikan 0,3%. Secara tahunan, indeks naik 4,6% pada Februari 2023 atau terendah sejak Maret 2021.
AS juga mengumumkan jika penjualan ritel mereka pada Februari 2023 terkoreksi 0,4% (mtm), lebih dalam dibandingkan ekspektasi pasar (koreksi 0,3%).
Indeks jauh memburuk dibandingkan Januari yang tercatat 3,2% (mtm).
Penjualan ritel secara tahunan hanya naik 5,4% (yoy) pada Februari 2023, jauh di bawah penjualan pada Januari yang tercatat 7,7% (yoy).
Data ini semakin menegaskan jika ekonomi AS mulai mendingin setelah tumbuh kencang. Data inflasi AS juga menunjukkan inflasi sudah melandai ke 6% (yoy) pada Februari, dari 6,4% (yoy) pada Januari.
Dengan inflasi, IPP, dan penjualan ritel yang melemah maka pelaku pasar semakin optimis jika The Fed akan melunak.
Pelaku pasar mesti mencermati sejumlah sentimen penggerak pasar hari ini, baik dari dalam atau luar negeri. Ambruknya bursa Wall Street dan Eropa menjadi sentimen negatif berupa meningkatkan kekhawatiran pelaku pasar.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan pemerintah memang sudah menegaskan jika sistem perbankan Indonesia kuat.
Namun, apa yang terjadi di Credit Suisse dan bank-bank AS membuat pelaku pasar keuangan global mengkhawatirkan adanya persoalan besar dalam sistem perbankan dunia.
Krisis yang menimpa SVB, Signature Bank, dan Credit Suisse sudah membuat pasar saham AS dan Eropa jeblok. Pada perdagangan kemarin, seluruh bursa utama Eropa berakhir di zona merah.
Indeks Stoxx 600 ambruk 2,92%, indeks FTSE Inggris anjlok 3,83%, indeks CAC Prancis terkoreksi 3,58% sementara indeks DAX Jerman jatuh 3,27%.
“Credit Suisse lebih terkoneksi secara global dengan beragam anak usaha di luar Swiss, termasuk di Amerika. Apa yang terjadi pada mereka bukan saja menjadi persoalan Swiss tapi dunia,” tutur Andrew Kenningham, kepala ekonom Capital Economics, dikutip dari CNN International.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahkan sudah mengingatkan atas dampak domino dari tumbangnya bank-bank di AS.
“Ada kebangkrutan bank di Amerika, Silicon Valley Bank. Semuanya ngeri begitu ada satu bank yang bankrut. Dua hari, muncul lagi bank berikutnya yang kolaps, Signature Bank,” tutur Jokowi pada pembukaan Business Matching Produk Dalam Negeri, Jakarta, Rabu (15/3/2023).
Presiden juga meminta semua pihak untuk waspada mengingat dampak besar dari krisis perbankan tersebut.
“Semua negara sekarang ini menunggu efek dominonya akan kemana, oleh sebab itu kita hati-hati,” imbuhnya.
Bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) pada hari ini, Kamis (16/3/2023) akan menggelar rapat terkait kebijakan moneternya. Setelah krisis perbankan menerpa Eropa, dunia kini menunggu langkah dari ECB.
Sebelumnya, ECB mengisyaratkan akan menaikkan suku bunga sebesar 50 bps sehingga bunga acuan akan menjadi 3,5%.
Sementara itu, AS akan mengumumkan data klaim pengangguran untuk pekan yang berakhir pada 11 Maret. Pada pekan sebelumnya, jumlah klaim meningkat sebanyak 21.000 menjadi 211.000.
Jika klaim pengangguran kembali meningkat maka pasar semakin optimis The Fed akan melunak.
Pasalnya, data-data terbaru mulai dari inflasi, IPP, hingga penjualan ritel mereka sudah anjlok.
The Fed akan menggelar rapat Federal Open Market Committee (FOMC) pada pekan depan yakni 21-22 Maret.
Dari dalam negeri, pelaku pasar akan menunggu keputusan Bank Indonesia (BI) dalam menentukan arah suku bunga yang akan diumumkan siang hari ini.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memproyeksi bank sentral akan menahan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR).
Dari 12 institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus, semuanya memperkirakan BI akan menahan suku bunga di level 5,75%.
Bila BI tetap mempertahankan suku bunga hari ini maka hal itu akan menjadi kabar positif bagi pasar keuangan RI, terutama IHSG. Dengan kebijakan BI yang dovish maka pertumbuhan kredit dan ekonomi diharapkan akan terus meningkat.
Perusahaan pun akan diuntungkan karena meningkatnya penjualan serta terjaganya ongkos pinjaman.
Konsensus pasar berbanding terbalik pada pekan kemarin di mana sejumlah lembaga memperkirakan BI akan kembali mengerek suku bunga sebesar 25 bps.
Kekhawatiran BI akan kembali hawkish dipicu oleh pernyataan bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) pada Selasa pekan lalu (7/3/2023).
Chairman The Fed Jerome Powell menegaskan jika The Fed tidak ragu untuk menaikkan suku bunga lebih besar dalam periode yang lama.
Namun, situasi justru kini berbalik 180 derajat karena The Fed diproyeksi akan melunak setelah kriris perbankan mengguncang AS.
Sebagai catatan, BI mulai menaikkan suku bunga acuan sejak Agustus 2022 hingga Januari 2023. Secara total, kubu MH Thamrin sudah mengerek suku bunga acuan sebesar 225 basis points (bps) menjadi 5,75%.
Suku bunga Deposit Facility dinaikkan sbesar 225 bps menjadi 5,00%, dan suku bunga Lending Facility ada di 6,50%.
Gubernur BI perry Warjiyo berkali-kali juga sudah menegaskan jika kenaikan sebesar 225 bps sudah cukup untuk membawa inflasi inti sesuai target BI.
Inflasi inti diharapkan sudah kembali ke kisaran 3±1% pada akhir Semester I-2023. Inflasi inti sudah melandai ke 3,09% (yoy) pada Februari, dari 3,27% pada bulan sebelumnya.
Inflasi inti akan menjadi pertimbangan utama BI dalam menentukan kebijakan suku bunga.
Selain suku bunga, pelaku pasar kini juga menunggu kebijakan BI menghadapi guncangan pasar keuangan global. Kebijakan BI ditunggu pasar, terutama bagaimana BI akan menjaga stabilitas nilai tukar jika skala krisis perbankan membesar.
Di luar agenda BI, dua bank besar yakni PT Bank Central Asia (BCA) dan PT Bank Tabungan Negara (BTN) juga dijadwalkan menggelar Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
RUPS BCA sangat ditunggu investor mengingat bank swasta terbesar di Tanah Air tersebut memiliki market cap dan pengaruh bank yang sangat besar.
Pasar juga menunggu berapa besar dividen BCA setelah perusahaan mencatatkan lonjakan laba bersih sebesar 29,6% menjadi Rp 40,7 triliun pada 2022.
Laba tersebut adalah yang tertinggi dalam lima tahun terakhir. RUPS BCA diharapkan membawa kabar baik sehingga menopang kinerja IHSG.
Agenda ekonomi:
* Bank Indonesia akan menggelar konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (14:00 WIB)
* Amerika Serikat akan mengumumkan data klaim pengangguran untuk pekan yang berakhir pada 11 Maret (19:30 WIB)
* Bank sentral Eropa (ECB) akan menggelar rapat terkait suku bunga acuan (20:15 WIB)
Agenda perusahaan:
* RUPS PT Bank Central Asia (09:30 WIB)
* RUPS PT RMK Energy (10:00 WIB)
* RUPS PT Bank Tabungan Negara (13:30 WIB)